Selasa, 30 Mei 2017

Industrialisasi Picu Pemerataan Ekonomi

Kementerian Perindustrian fokus mendorong pemerataan pembangunan dan ekonomi nasional melalui penumbuhan industri baik skala besar maupun kecil dan menengah. Langkah ini perlu dukungan berbagai pihak, termasuk aparatur pemerintahan baik di pusat maupun daerah.

“Kebijakan kami tidak bisa jalan sendiri. Untuk mewujudkan industrialisasi, dibutuhkan pula aparatur yang bisa memberikan pelayanan kepada pelaku usaha dan masyarakat. Misalnya, terkait teknologi dan informasi data,” kata Plt. Sekjen Kemenperin Haris Munandar ketika memberikan kuliah umum di Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor, Sumedang, Senin (29/5).

Sampai periode triwulan III 2016, jumlah perusahaan industri besar yang tumbuh sebanyak 1.228 unit dengan menyerap tenaga kerja sebanyak 15,54 juta orang. Adapun di sektor IKM, penambahan unit usaha hingga tahun 2016 sebanyak 165.983 IKM atau meningkat 4,5 persen dibandingkan tahun 2015.

Kepada lebih dari 2.000 Wasana Praja IPDN yang hadir dalam kuliah umum, Haris menyampaikan, kontribusi terbesar dalam perekonomian Indonesia berasal dari sektor manufaktur. “Pada kuartal I tahun 2017, industri pengolahan non-migas mampu menyumbangkan bagi PDB nasional sebesar 18,08 persen atau tertinggi dibanding sektor lain,” ungkapnya.

Haris berharap agar para calon pamong praja muda yang akan lulus dan menempati posisi di lingkungan pemerintahan tersebut, ikut berperan aktif menjalankan visi dan misi pembangunan industri nasional. Upaya ini sebagai salah satu untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat karena salah satu efek berganda dari industri adalah penyerapan tenaga kerja

“Visinya menjadikan negara industri tangguh,” tegasnya. Misi yang diimplementasikan, antara lain memacu industri nasional sebagai pilar dan penggerak perekonomian, memperkuat dan memperdalam struktur industri nasional, serta meningkatkan industri yang mandiri, berdaya saing dan maju serta berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Guna menyukseskan program hilirisasi industri, Haris pun menyatakan, perlu adanya langkah sinergi antara pemangku kepentingan dan perubahan pola pikir. “Jangan terus jual sumber daya alam lokal kita. Jadi, harus melalui pengolahan di dalam negeri, sehingga nilai tambah produk semakin tinggi dan menerima devisa dari ekspor,” ujarnya. Selain itu, ditopang dengan program cinta produk domestik.

Kemenperin mencatat, total ekspor sektor industri pada Januari-Maret 2017 mencapai USD30,57 miliar, sedangkan nilai impor sekitar USD27,69 miliar sehingga neraca perdagangan mengalami surplus sebesar USD 2,88 miliar. “Saat ini, impor masih pada bahan baku dan bahan penolong yang belum bisa dihasilkan di dalam negeri. Namun, itu menunjukkan aktivitas industri masih jalan karena berproduksi,” jelas Haris.

Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan IPDN Hyronimus Rowa menuturkan, di era otonomi daerah, pamong praja dituntut dapat mengembangkan keterampilan masyarakat khususnya di sektor industri sehingga mampu meningkatkan ekonomi daerah. “Setelah wisuda, para lulusan ini akan ditempatkan di seluruh Indonesia. Mereka harus mampu bangun industrialisasi di daerah-daerah,” ucapnya.

Hyronimus juga berharap, agar Indonesia tidak menjadi negara pengimpor produk industri, tetapi bisa menjadi basis produksi dan tuan rumah di negeri sendiri. “Maka diperlukan kompetensi sumber daya manusia yang qualified serta pemahaman tentang pengembangan industri nasional. Pasalnya, lulusan SMK sekarang banyak yang mengangggur. Untuk itu, kami meminta kepada Kemenperin dapat memfasilitasi melalui program pendidikan dan pelatihan. Apalagi, Kemenperin tengah menginisiasi program pendidikan vokasi industri,” paparnya.

Indonesia sentris

Di kesempatan yang berbeda, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, pembangunan kawasan industri khususnya di luar Jawa berperan signifikan untuk mengakselerasi cita-cita pemerintah mewujudkan Indonesia sentris. Apalagi, Indonesia berhasil meraih rating investment grade atau layak investasi yang diberikan oleh S&P.

“Pemerintah telah menyiapkan beberapa wilayah menjadi pusat industri baru. Misalnya, kawasan industri Kuala Tanjung dan Sei Mangkei yang bisa menarik investasi untuk wilayah Sumatera. Kemudian, kawasan industri Bitung di Sulawesi Utara diharapkan untuk pengembangan industri di wilayah Timur, dan kawasan industri di Kalimantan Utara bisa sebagai relokasi industri smelter karena ada sumber energi yang lebih dekat dan hijau,” paparnya.

Airlangga menilai, prospek pengembangan kawasan industri di Indonesia masih menjanjikan seiring permintaan lahan kawasan industri yang semakin meningkat. Untuk itu, kawasan industri harus saling terkoneksi dan terintegrasi. “Maka pengelola kawasan industri harus bersinergi dengan pemerintah daerah setempat dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul," jelasnya.

Airlangga meyakinkan, apabila upaya-upaya tersebut terlaksana dengan baik, dapat meningkatkan daya saing kawasan industri sekaligus membawa dampak berganda terhadap perekonomian daerah dan nasional.

Sebanyak 73 perusahaan kawasan industri terdaftar menjadi anggota Himpunan Kawasan Industri (HKI) dengan total area seluas 54.650,52 hektare (Ha). "Kawasan industri telah berhasil merealisasikan beroperasinya industri manufaktur di dalamnya sebanyak 9.200 perusahaan yang mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 3,68 juta orang,” papar Airlangga.

Namun demikian, Ketua Umum HKI Sanny Iskandar menyatakan, pengelola mulai merasa khawatir dengan rencana pengurangan batas lahan untuk kawasan industri menjadi hanya seluas 200 Ha. Wacana ini sempat dimunculkan dalam pembahasan RUU Pertanahan yang masih bergulir di parlemen.

Menurut Sanny, kawasan industri umumnya memerlukan luas lahan di atas 400 Ha. “Karena, satu perusahaan petrokimia saja di sebuah kawasan industri, paling tidak membutuhkan lahan seluas 150-200 Ha,” ujarnya.

Selain itu, pengembang kawasan industri juga dihadapkan dengan kesulitan untuk urusan pembebasan lahan yang selalu diikuti dengan munculnya spekulan tanah. Padahal, pengembang kawasan industri sudah bersusah payah untuk mencari pendanaan investor. “Kami berharap konsep bank tanah untuk kawasan industri dapat diwujudkan sehingga menjadi solusi atas masalah pembebasan lahan, termasuk kepastian harga lahan,” tuturnya.

Sementara itu, ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menilai adanya ketidakberpihakan kebijakan terhadap industri manufaktur. “Coba bayangkan, lahan kawasan industri dibatasi 400 Ha. Tetapi untuk satu lahan perkebunan sawit dibolehkan maksimal 100.000 Ha,” ucapnya.

Faisal mengungkapkan, industri manufaktur menjamin peningkatan nilai tambah yang jauh lebih tinggi daripada sektor perkebunan. Pengaruh industri manufaktur terhadap PDB Indonesia bahkan mencapai 20 persen. “Dan perlu dicatat, tidak ada negara yang bisa maju tanpa industri yang kuat. Ujung tombak ekonomi itu ada di pertumbuhan industri,” tegasnya.