Kementerian
Perindustrian fokus mendorong pemerataan pembangunan dan ekonomi
nasional melalui penumbuhan industri baik skala besar maupun kecil dan
menengah. Langkah ini perlu dukungan berbagai pihak, termasuk aparatur
pemerintahan baik di pusat maupun daerah.
“Kebijakan
kami tidak bisa jalan sendiri. Untuk mewujudkan industrialisasi,
dibutuhkan pula aparatur yang bisa memberikan pelayanan kepada pelaku
usaha dan masyarakat. Misalnya, terkait teknologi dan informasi data,”
kata Plt. Sekjen Kemenperin Haris Munandar ketika memberikan kuliah umum
di Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor,
Sumedang, Senin (29/5).
Sampai
periode triwulan III 2016, jumlah perusahaan industri besar yang tumbuh
sebanyak 1.228 unit dengan menyerap tenaga kerja sebanyak 15,54 juta
orang. Adapun
di sektor IKM, penambahan unit usaha hingga tahun 2016 sebanyak 165.983
IKM atau meningkat 4,5 persen dibandingkan tahun 2015.
Kepada
lebih dari 2.000 Wasana Praja IPDN yang hadir dalam kuliah umum, Haris
menyampaikan, kontribusi terbesar dalam perekonomian Indonesia berasal
dari sektor manufaktur. “Pada kuartal I tahun 2017, industri pengolahan
non-migas mampu menyumbangkan bagi PDB nasional sebesar 18,08 persen
atau tertinggi dibanding sektor lain,” ungkapnya.
Haris berharap agar para calon pamong praja muda yang akan lulus dan menempati posisi di lingkungan pemerintahan tersebut, ikut berperan aktif menjalankan visi dan misi pembangunan industri nasional. Upaya ini sebagai salah satu untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat karena salah satu efek berganda dari industri adalah penyerapan tenaga kerja
“Visinya
menjadikan negara industri tangguh,” tegasnya. Misi yang
diimplementasikan, antara lain memacu industri nasional sebagai pilar
dan penggerak perekonomian, memperkuat dan memperdalam struktur industri
nasional, serta meningkatkan industri yang mandiri, berdaya saing dan
maju serta berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Guna
menyukseskan program hilirisasi industri, Haris pun menyatakan, perlu
adanya langkah sinergi antara pemangku kepentingan dan perubahan pola
pikir. “Jangan terus jual sumber daya alam lokal kita. Jadi, harus
melalui pengolahan di dalam negeri, sehingga nilai tambah produk semakin
tinggi dan menerima devisa dari ekspor,” ujarnya. Selain itu, ditopang
dengan program cinta produk domestik.
Kemenperin
mencatat, total ekspor sektor industri pada Januari-Maret 2017 mencapai
USD30,57 miliar, sedangkan nilai impor sekitar USD27,69 miliar sehingga
neraca perdagangan mengalami surplus sebesar USD 2,88 miliar. “Saat
ini, impor masih pada bahan baku dan bahan penolong yang belum bisa
dihasilkan di dalam negeri. Namun, itu menunjukkan aktivitas industri
masih jalan karena berproduksi,” jelas Haris.
Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan IPDN Hyronimus Rowa menuturkan, di era otonomi daerah, pamong praja dituntut dapat
mengembangkan keterampilan masyarakat khususnya di sektor industri
sehingga mampu meningkatkan ekonomi daerah. “Setelah wisuda, para
lulusan ini akan ditempatkan di seluruh Indonesia. Mereka harus mampu
bangun industrialisasi di daerah-daerah,” ucapnya.
Hyronimus
juga berharap, agar Indonesia tidak menjadi negara pengimpor produk
industri, tetapi bisa menjadi basis produksi dan tuan rumah di negeri
sendiri. “Maka diperlukan kompetensi sumber daya manusia yang qualified
serta pemahaman tentang pengembangan industri nasional. Pasalnya,
lulusan SMK sekarang banyak yang mengangggur. Untuk itu, kami meminta
kepada Kemenperin dapat memfasilitasi melalui program pendidikan dan
pelatihan. Apalagi, Kemenperin tengah menginisiasi program pendidikan
vokasi industri,” paparnya.
Indonesia sentris
Di
kesempatan yang berbeda, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto
mengatakan, pembangunan kawasan industri khususnya di luar Jawa berperan
signifikan untuk mengakselerasi cita-cita pemerintah mewujudkan
Indonesia sentris. Apalagi, Indonesia berhasil meraih rating investment grade atau layak investasi yang diberikan oleh S&P.
“Pemerintah
telah menyiapkan beberapa wilayah menjadi pusat industri baru.
Misalnya, kawasan industri Kuala Tanjung dan Sei Mangkei yang bisa
menarik investasi untuk wilayah Sumatera. Kemudian, kawasan industri
Bitung di Sulawesi Utara diharapkan untuk pengembangan industri di
wilayah Timur, dan kawasan industri di Kalimantan Utara bisa sebagai
relokasi industri smelter karena ada sumber energi yang lebih dekat dan
hijau,” paparnya.
Airlangga
menilai, prospek pengembangan kawasan industri di Indonesia masih
menjanjikan seiring permintaan lahan kawasan industri yang semakin
meningkat. Untuk itu, kawasan industri harus saling terkoneksi dan
terintegrasi. “Maka pengelola kawasan industri harus bersinergi dengan
pemerintah daerah setempat dalam menyelesaikan berbagai permasalahan
yang muncul," jelasnya.
Airlangga
meyakinkan, apabila upaya-upaya tersebut terlaksana dengan baik, dapat
meningkatkan daya saing kawasan industri sekaligus membawa dampak
berganda terhadap perekonomian daerah dan nasional.
Sebanyak
73 perusahaan kawasan industri terdaftar menjadi anggota Himpunan
Kawasan Industri (HKI) dengan total area seluas 54.650,52 hektare (Ha).
"Kawasan industri telah berhasil merealisasikan beroperasinya industri
manufaktur di dalamnya sebanyak 9.200 perusahaan yang mampu menyerap
tenaga kerja sebanyak 3,68 juta orang,” papar Airlangga.
Namun
demikian, Ketua Umum HKI Sanny Iskandar menyatakan, pengelola mulai
merasa khawatir dengan rencana pengurangan batas lahan untuk kawasan
industri menjadi hanya seluas 200 Ha. Wacana ini sempat dimunculkan
dalam pembahasan RUU Pertanahan yang masih bergulir di parlemen.
Menurut Sanny, kawasan industri umumnya memerlukan luas lahan di atas 400 Ha. “Karena, satu perusahaan petrokimia saja di sebuah kawasan industri, paling tidak membutuhkan lahan seluas 150-200 Ha,” ujarnya.
Selain itu, pengembang
kawasan industri juga dihadapkan dengan kesulitan untuk urusan
pembebasan lahan yang selalu diikuti dengan munculnya spekulan tanah.
Padahal, pengembang kawasan industri sudah bersusah payah untuk mencari
pendanaan investor. “Kami berharap konsep bank tanah untuk kawasan
industri dapat diwujudkan sehingga menjadi solusi atas masalah
pembebasan lahan, termasuk kepastian harga lahan,” tuturnya.
Sementara
itu, ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menilai adanya
ketidakberpihakan kebijakan terhadap industri manufaktur. “Coba
bayangkan, lahan kawasan industri dibatasi 400 Ha. Tetapi untuk satu
lahan perkebunan sawit dibolehkan maksimal 100.000 Ha,” ucapnya.
Faisal
mengungkapkan, industri manufaktur menjamin peningkatan nilai tambah
yang jauh lebih tinggi daripada sektor perkebunan. Pengaruh industri
manufaktur terhadap PDB Indonesia bahkan mencapai 20 persen. “Dan perlu
dicatat, tidak ada negara yang bisa maju tanpa industri yang kuat. Ujung
tombak ekonomi itu ada di pertumbuhan industri,” tegasnya.