Industri
nasional perlu aktif membuka akses ke pasar internasional yang bersifat
nontradisional dalam rangka meningkatkan ekspor. Negara-negara di
kawasan Amerika Tengah dan Selatan, Karibia, Eropa Tengah dan Timur
berikut organisasi regionalnya, Afrika, Timur Tengah, serta
negara-negara di sekitar Samudera Hindia (Indian Ocean Rim Association
atau IORA) memiliki berbagai potensi untuk digarap.
Hal
tersebut disampaikan oleh Staf Ahli Menteri Perindustrian Bidang
Penguatan Struktur Industri, Ngakan Timur Antara dalam Focus Group
Discussion (FGD) “Dampak Kebijakan Donald Trump Terhadap Industri
Nasional” yang diikuti oleh jajaran Kementerian Perindustrian di
Jakarta, Kamis (4/5).
“Jumlah
penduduk yang besar namun dengan sumber daya alam yang relatif terbatas
membuat wilayah tersebut berpotensi sebagai tujuan ekspor bagi
komoditas dan produk yang beragam dari Indonesia,” ujarnya. Selain itu,
sebagian besar negara di pasar nontradisional tidak menerapkan sistem
kuota ekspor seperti yang banyak dilakukan oleh negara maju.
Menurut
Ngakan, perluasan ekspor ke pasar nontradisional merupakan salah satu
strategi yang perlu dilakukan pelaku industri nasional untuk
mengantisipasi kebijakan ekonomi Amerika Serikat di bawah kepemimpinan
Presiden Donald Trump.
Dia
mencatat, komoditas utama ekspor Indonesia ke negeri Paman Sam pada
tahun 2016 meliputi tekstil (USD 2,46 Miliar), makanan (USD 1,45
Miliar), plastik dan karet (USD 1,43 Miliar), alaskaki (USD 1,34 Miliar)
serta permesinan dan elektronik (USD 1,15 Miliar). Namun, adanya
kategori produk ekspor yang beririsan dengan ekspor Tiongkok ke AS dapat
mengakibatkan tekanan yang besar.
“Indonesia
punya produk ekspor utama ke AS yang relatif mirip dengan Tiongkok.
Akan ada tekanan yang lebih besar apabila produk RRT dikenakan bea masuk
yang tinggi ke AS, kemungkinan Indonesia akan menjadi sasaran produk
dari RRT,” papar Ngakan.
Karenanya,
Ngakan menyampaikan, perlu dipertimbangkan strategi untuk memperluas
pasar ke negara-negara selain yang selama ini telah menjalin hubungan
dagang dengan Indonesia. Beberapa kriteria pasar nontradisional yang
dipertimbangkan adalah yang GDP perkapitanya di atas USD 1000,
berpopulasi lebih dari 1 juta penduduk, nilai impornya melebihi USD 1
Miliar. “Selain itu, neraca perdagangan kita dengan negara yang
bersangkutan dalam kondisi surplus, juga dalam kondisi tren impor dunia
dan tren ekspor nonmigas Indonesia yang positif,” jelasnya.
Untuk
meningkatkan akses pasar nontradisional, perlu mendorong kegiatan
litbang dan inovasi untuk meningkatkan kualitas dan diverisifikasi
produk serta memberikan insentif bagi para eksportir untuk meningkatkan
penetrasi ke pasar-pasar nontradisional. “Perlu dikembangkan pasar-pasar
di negara-negara yang menjadi “hub” untuk wilayah sekitarnya, seperti
Mexico bagi negara Amerika Latin lainnya,” kata Ngakan.
Hal
senada disampaikan Mantan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu yang
juga menjadi pembicara dalam FGD tersebut, Indonesia harus aktif
melakukan lobi dengan AS secara bilateral, sesuai dengan kebijakan AS
saat ini. Selain itu, Pemerintah dan swasta di Indonesia perlu melakukan
negosiasi berdasarkan peraturan perdagangan internasional yang ada.
“Komunikasi
yang aktif dan membangun perjanjian bilateral dengan AS untuk
mengurangi pembatasan ekspor Indonesia dan mengisi kekosongan pasar
produk,” ujarnya.
Dalam
strategi hubungan bilateral dengan AS, Indonesia dapat menggunakan
persiapan yang selama inidilakukan untuk masuk ke perjanjian
multilateral Trans-Pacific Partnership (TPP) yang telah dihentikan AS.
Karenanya, Indonesia perlu membenahi aturan-aturan terkait langkah
tersebut. “Indonesia harusfokus meningkatkan pertumbuhan dari
produktifitas dan menumbuhkan sumber-sumber pertumbuhandari sektor jasa,
perkembangan teknologi dan global value chain,” jelas Mari.
Yang
lebih penting, Indonesia bersama negara Asia Tenggara lainnya harus
meningkatkan kerjasama di dalam ASEAN maupun RCEP untuk meningkatkan
daya saing dan menghadapi new globalisation
karena setengah dari perdagangan dunia ada di wilayah ini. “Keterbukaan
akan memperlancar arus barang, investasi, jasa dan tenaga kerja,”
ujarnya.
Kepala
Badan Pengembangan dan Penelitian Industri merangkap Plt. Sekjen
Kemenperin Haris Munandar dalam FGD tersebut menyampaikan, Indonesia
perlu melakukan smart action
dalam menghadapi Amerika Serikat sembari mengamati arah kebijakan
ekonomi negara tersebut. Selain itu, ada beberapa strategi pendekatan
dalam kerjasama industri dengan negara lain.
Pertama,
strategi persuasif melalui lobi dan negosiasi. Selanjutnya, strategi
preventif, yakni dengan penerapan standar untuk mengurangi lonjakan
impor. “Saat ini, perlu diperbanyak jumlah non-tariff measures
(NTM) seperti yang dilakukan negara-negara maju. Yang dapat dilakukan
adalah pemberlakuan standar wajib maupun pengaturan tata niaga untuk
produk tertentu,” ujar Haris.