Jumat, 05 Mei 2017

Industri Nasional Perlu Garap Pasar Ekspor Nontradisional

Industri nasional perlu aktif membuka akses ke pasar internasional yang bersifat nontradisional dalam rangka meningkatkan ekspor. Negara-negara di kawasan Amerika Tengah dan Selatan, Karibia, Eropa Tengah dan Timur berikut organisasi regionalnya, Afrika, Timur Tengah, serta negara-negara di sekitar Samudera Hindia (Indian Ocean Rim Association atau IORA) memiliki berbagai potensi untuk digarap.

Hal tersebut disampaikan oleh Staf Ahli Menteri Perindustrian Bidang Penguatan Struktur Industri, Ngakan Timur Antara dalam Focus Group Discussion (FGD) “Dampak Kebijakan Donald Trump Terhadap Industri Nasional” yang diikuti oleh jajaran Kementerian Perindustrian di Jakarta, Kamis (4/5).

“Jumlah penduduk yang besar namun dengan sumber daya alam yang relatif terbatas membuat wilayah tersebut berpotensi sebagai tujuan ekspor bagi komoditas dan produk yang beragam dari Indonesia,” ujarnya. Selain itu, sebagian besar negara di pasar nontradisional tidak menerapkan sistem kuota ekspor seperti yang banyak dilakukan oleh negara maju.

Menurut Ngakan, perluasan ekspor ke pasar nontradisional merupakan salah satu strategi yang perlu dilakukan pelaku industri nasional untuk mengantisipasi kebijakan ekonomi Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump.

Dia mencatat, komoditas utama ekspor Indonesia ke negeri Paman Sam pada tahun 2016 meliputi tekstil (USD 2,46 Miliar), makanan (USD 1,45 Miliar), plastik dan karet (USD 1,43 Miliar), alaskaki (USD 1,34 Miliar) serta permesinan dan elektronik (USD 1,15 Miliar). Namun, adanya kategori produk ekspor yang beririsan dengan ekspor Tiongkok ke AS dapat mengakibatkan tekanan yang besar.

“Indonesia punya produk ekspor utama ke AS yang relatif mirip dengan Tiongkok. Akan ada tekanan yang lebih besar apabila produk RRT dikenakan bea masuk yang tinggi ke AS, kemungkinan Indonesia akan menjadi sasaran produk dari RRT,” papar Ngakan.

Karenanya, Ngakan menyampaikan, perlu dipertimbangkan strategi untuk memperluas pasar ke negara-negara selain yang selama ini telah menjalin hubungan dagang dengan Indonesia. Beberapa kriteria pasar nontradisional yang dipertimbangkan adalah yang GDP perkapitanya di atas USD 1000, berpopulasi lebih dari 1 juta penduduk, nilai impornya melebihi USD 1 Miliar. “Selain itu, neraca perdagangan kita dengan negara yang bersangkutan dalam kondisi surplus, juga dalam kondisi tren impor dunia dan tren ekspor nonmigas Indonesia yang positif,” jelasnya.

Untuk meningkatkan akses pasar nontradisional, perlu mendorong kegiatan litbang dan inovasi untuk meningkatkan kualitas dan diverisifikasi produk serta memberikan insentif bagi para eksportir untuk meningkatkan penetrasi ke pasar-pasar nontradisional. “Perlu dikembangkan pasar-pasar di negara-negara yang menjadi “hub” untuk wilayah sekitarnya, seperti Mexico bagi negara Amerika Latin lainnya,” kata Ngakan.

Hal senada disampaikan Mantan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu yang juga menjadi pembicara dalam FGD tersebut, Indonesia harus aktif melakukan lobi dengan AS secara bilateral, sesuai dengan kebijakan AS saat ini. Selain itu, Pemerintah dan swasta di Indonesia perlu melakukan negosiasi berdasarkan peraturan perdagangan internasional yang ada.

“Komunikasi yang aktif dan membangun perjanjian bilateral dengan AS untuk mengurangi pembatasan ekspor Indonesia dan mengisi kekosongan pasar produk,” ujarnya.

Dalam strategi hubungan bilateral dengan AS, Indonesia dapat menggunakan persiapan yang selama inidilakukan untuk masuk ke perjanjian multilateral Trans-Pacific Partnership (TPP) yang telah dihentikan AS. Karenanya, Indonesia perlu membenahi aturan-aturan terkait langkah tersebut. “Indonesia harusfokus meningkatkan pertumbuhan dari produktifitas dan menumbuhkan sumber-sumber pertumbuhandari sektor jasa, perkembangan teknologi dan global value chain,” jelas Mari.

Yang lebih penting, Indonesia bersama negara Asia Tenggara lainnya harus meningkatkan kerjasama di dalam ASEAN maupun RCEP untuk meningkatkan daya saing dan menghadapi new globalisation karena setengah dari perdagangan dunia ada di wilayah ini. “Keterbukaan akan memperlancar arus barang, investasi, jasa dan tenaga kerja,” ujarnya.

Kepala Badan Pengembangan dan Penelitian Industri merangkap Plt. Sekjen Kemenperin Haris Munandar dalam FGD tersebut menyampaikan, Indonesia perlu melakukan smart action dalam menghadapi Amerika Serikat sembari mengamati arah kebijakan ekonomi negara tersebut. Selain itu, ada beberapa strategi pendekatan dalam kerjasama industri dengan negara lain.

Pertama, strategi persuasif melalui lobi dan negosiasi. Selanjutnya, strategi preventif, yakni dengan penerapan standar untuk mengurangi lonjakan impor. “Saat ini, perlu diperbanyak jumlah non-tariff measures (NTM) seperti yang dilakukan negara-negara maju. Yang dapat dilakukan adalah pemberlakuan standar wajib maupun pengaturan tata niaga untuk produk tertentu,” ujar Haris.