Para CEO di Kawasan ASEAN Gemar Menggunakan
Jaringan Sosial dan Fokus pada Kolaborasi
Jakarta, 13 Juni 2012 : Penelitian
IBM (NYSE: IBM)
terbaru terhadap lebih dari 1.700 CEO (Chief Executive Officer) dari 64
negara dan 18 industri membuktikan bahwa para CEO sedang merubah budaya
kerja perusahaan mereka dengan lebih menekankan keterbukaan, transparansi
dan pemberdayaan karyawan dari pada etos kerja perintah-kendali yang telah
menjadi ciri khas perusahaan-peruahaan modern selama lebih dari satu abad.
Keunggulan dari tren yang berkembang cepat
ini sangat nyata. Menurut IBM
CEO study, perusahaan-perusahaan
yang dapat mengungguli pesaing-pesaingnya 30 persen lebih mampu mengidentifikasi
keterbukaan – yang seringnya dibarengi oleh penggunaan media sosial secara
luas sebagai pendorong utama kolaborasi dan inovasi – faktor utama yang
mempengaruhi perusahaan mereka.
Para CEO juga mengadopsi model kerja yang
baru untuk memanfaatkan collective intelligence yang dimiliki perusahaan
dan jaringannya. Dengan demikian, mereka dapat memunculkan ide-ide dan
solusi-solusi baru guna meningkatkan profitabilitas dan pertumbuhan.
Memanfaatkan Jaringan Sosial
Untuk mempererat hubungan dengan pelanggan,
mitra dan karyawan generasi baru di waktu mendatang, para CEO juga menggeser
perhatian mereka dari email dan telepon sebagai sarana komunikasi ke jaringan
sosial sebagai cara baru untuk menjalin hubungan langsung. Saat ini, hanya
16 persen CEO yang menggunakan platform social
business untuk berhubungan dengan
pelanggan secara individual, tetapi angka ini diperkirakan akan melonjak
menjadi 57 persen dalam waktu tiga hingga lima tahun mendatang. Tren ini
semakin kentara di kawasan ASEAN, dimana penggunaan jaringan sosial diramalkan
akan meningkat menjadi 68 persen dari 25 persen saat ini, seiring dengan
rencana para CEO di kawasan ASEAN untuk beranjak dari cara-cara konvensional
ke media sosial sambil tetap menjalin hubungan tatap muka.
Setelah berpuluh-puluh tahun bekerja dengan
kendali top-down, pergeseran ini memiliki ramifikasi yang cukup
substansial -- bukan hanya bagi para CEO saja – tetapi juga bagi
perusahaan, para manajer dan karyawan, selain perguruan tinggi dan sekolah-sekolah
tinggi bisnis dan para pemasok teknologi informasi. Penelitian IBM membuktikan
bahwa teknologi dipandang sebagai sarana yang dahsyat untuk merestrukturisasi
perusahaan. Lebih dari setengah CEO (Global: 53 persen, ASEAN: 53 persen)
berencana untuk menggunakan teknologi untuk memfasilitasi kemitraan dan
kolaborasi yang lebih luas dengan pihak eksternal. Sementara itu, 52 persen
(ASEAN: 47 persen) menggeser perhatian mereka untuk mempromosikan kolaborasi
internal yang baik.
“Para CEO menyadari bahwa saat ini pengendalian
yang ketat tidak dapat mendorong inovasi dan performa keuangan. Bahkan,
para pemimpin perusahaan telah membuktikan sendiri bagaimana jaringan sosial
yang dinamis dapat digunakan sebagai landasan yang kuat untuk berkolaborasi
dengan baik. CEO di kawasan ASEAN, terutama, gemar memanfaatkan jaringan
sosial dan berfokus pada kolaborasi – baik secara internal maupun eksternal,
dengan para pelanggan dan mitra,” tutur Shyam R Mamidi, Consulting Services
Leader, Global Business Services, IBM ASEAN.
Namun demikian, keterbukaan juga mengandung
resiko dan menimbulkan kerentanan. Internet – terutama melalui jaringan
sosial – dapat mewujudkan berbagai jenis interaksi karyawan, baik positif
maupun negatif. Agar perusahaan dapat beroperasi dengan baik di lingkungan
ini, karyawan harus mengikuti prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk
memperbaiki proses pengambilan keputusan.
Fokus pada Kolaborasi
Lebih banyak CEO di kawasan ASEAN, dibanding
rekan mereka di tingkat global, yang menganggap kecakapan antar-pribadi
dalam berkolaborasi (Global: 75 persen, ASEAN: 87 persen) dan kreativitas
(Global: 61 persen, ASEAN: 72 persen) sebagai pendorong utama untuk mendorong
karyawan meraih sukses ketika bekerja di lingkungan yang rumit dan terinterkoneksi.
“Karena mereka ingin mewujudkan keterbukaan
yang lebih luas, para CEO ini mencari karyawan yang mau bekerja dalam lingkungan
seperti ini. Para CEO menginginkan karyawan yang mampu terus memperbaharui
diri. Para karyawan ini harus merasa nyaman jika terjadi perubahan; mereka
harus juga dapat belajar sambil jalan, kadang belajar cepat dari orang
lain,” tutur Widita P Sardjono, Country Manager, Global Business Services,
IBM Indonesia.
Untuk membangun tenaga kerja generasi mendatang,
perusahaan harus secara aktif merekrut dan mempekerjakan orang-orang yang
dapat bekerja optimal dalam lingkungan berbasis tim yang terbuka.
Di saat yang sama, pemimpin perusahaan juga harus membangun dan memupuk
berbagai praktek yang mendukung karyawan untuk meraih sukses, seperti merangsang
pengembangan tim-tim yang tidak konvensional, mempromosikan teknik-teknik
pembelajaran dari pengalaman dan mendukung penggunaan jaringan karyawan
bernilai tinggi.
Tren mewujudkan kolaborasi yang lebih luas
ini juga merambah keluar perusahaan melalui hubungan kemitraan eksternal.
Kemitraan kini sedang mengalami masa jaya. Lebih dari dua per tiga CEO
Global (69 persen) yang diwawancarai IBM berencana untuk menjalin kemitraan
secara ekstensif. Di ASEAN, angkanya lebih tinggi (79 persen), dan CEO
di kawasan ini memasukkan kemitraan ke dalam strategi inovasi inti mereka.
Temuan Lainnya
Sejak penelitian IBM CEO Study ini dimulai,
teknologi – secara luas – semakin penting di mata CEO. Saat ini, 71 persen
CEO Global menganggap teknologi sebagai faktor utama yang mempengaruhi
masa depan perusahaan mereka dalam waktu tiga tahun mendatang – suatu
agen perbedaan yang lebih besar dari pada perekonomian dan kondisi pasar
yang berubah-ubah
Melihat ledakan data yang dihadapi sebagian
besar perusahaan, para CEO juga menyadari mereka membutuhkan business
analytics yang lebih canggih untuk
menggali data yang dilacak secara online, di ponsel dan situs media sosial.
Tujuh dari sepuluh CEO (Global: 73 persen, ASEAN: 73 persen) meningkatkan
investasi mereka guna mengembangkan kemampuan perusahaan untuk meraih wawasan
pelanggan yang berharga dari data yang ada.
Sementara para CEO ASEAN sepakat bahwa teknologi
(68 persen) adalah faktor penting yang mempengaruhi perusahaan mereka,
mereka menganggap kecakapan manusia (87 persen, Global: 69 persen)
sebagai faktor terpenting, diikuti oleh faktor pasar (74 persen, Global:
68 persen). Kecakapan manusia semakin mendapat tempat di negara-negara
ASEAN karena kawasan ini mengalami perkembangan pengalaman sebagai akibat
dari kekurangan SDM yang cakap. Perang memperebutkan talenta semakin sengit
jika kita lihat bagaimana para pemimpin perusahaan di kawasan ini (ASEAN:
72 persen, Global: 71 persen) juga menganggap SDM sebagai faktor terpenting
untuk mempertahankan nilai ekonomi perusahaan mereka.
Tentang IBM 2012 Global CEO Study
Penelitian ini adalah edisi kelima dari
rangkaian IBM Global CEO Study yang diadakan dua tahun sekali. Agar dapat
lebih memahami tantangan dan sasaran CEO masa kini, konsultan-konsultan
IBM mewawancari sampel dari para CEO ini secara langsung. Antara bulan
September 2011 dan Januari 2012, IBM mewawancarai sebanyak 1.709 CEO dan
pemimpin-pemimpin di sektor publik untuk lebih memahami rencana dan tantangan
mereka di waktu mendatang dalam perekonomian yang semakin terhubung.
Akses temuan penelitian ini dan studi kasusnya
di http://www.ibm.com/ceostudy