Senin, 26 Maret 2012

SURVEY IBM: 60 PERSEN CMO ASEAN TIDAK SIAP MENGHADAPI TANTANGAN TRANSFORMASI ERA DIGITAL

 Sebagian besar CMO mengakui bahwa mereka kurang terlibat dalam perbincangan real-time tentang merk atau produk mereka; masih berfokus untuk memahami pasar, bukan untuk memahami setiap individu guna menetapkan strategi
 
Para CMO juga harus membuktikan ROI pemasaran mereka

 Jakarta, 22 Maret 2012:  Sebuah survei yang dilakukan IBM (NYSE: IBM) terhadap lebih dari 1.700 chief marketing officer (CMO) dari 64 negara dan 19 industri, termasuk 70 CMO dari ASEAN, membuktikan bahwa sebagian besar eksekutif pemasaran puncak terbaik dunia menyadari adanya pergeseran penting yang permanen dalam cara mereka berinteraksi dengan pelanggan mereka. Namun demikian, pertanyaannya adalah: apakah bagian pemasaran mereka siap untuk menghadapi perubahan ini?

Di waktu yang sama, survei ini juga membuktikan bahwa ukuran yang digunakan untuk mengevaluasi kegiatan pemasaran telah berubah. Meskipun 59 persen dari CMO ASEAN (Global: 63 persen) menganggap ROI pemasaran adalah ukuran utama untuk menilai efektifitas fungsi-fungsi pemasaran pada tahun 2015, termasuk di perusahaan-perusahaan besar yang sukses, mereka merasa tidak siap untuk menyajikan angka-angka pastinya.

Dan sebagian besar dari eksekutif ini – yang bertanggung jawab atas pemasaran terintegrasi dari produk, layanan dan reputasi merk mereka – mengatakan bahwa mereka kurang memiliki pengaruh di beberapa bidang utama seperti pengembangan produk, penetapan harga dan pemilihan saluran penjualan.
 
Revolusi Digital Mentransformasikan Pasar

Globalisasi memudahkan kita untuk terhubung dengan siapapun di dunia ini. Saat ini, siapapun bisa menjadi penyiar, penerbit dan kritikus – kita tidak dapat bersembunyi, dan transparansi adalah harga yang harus kita bayar. Artinya, saat ini terdapat begitu banyak data dari beragam sumber, meskipun data tersebut tidak jelas.

Para pelanggan berbagi pengalaman mereka secara online, sehingga mereka memiliki pengaruh yang lebih kuat atas merk. Pergeseran kekuatan dari perusahaan ke pelanggan ini membutuhkan pendekatan, sarana dan kecakapan pemasaran yang baru agar perusahaan tetap dapat bersaing. Para CMOs menyadari pergeseran ini, tetapi mereka sulit meresponnya.
 
“Pengaruh yang dibawa media sosial merupakan suatu perubahan permanen dalam pola hubungan dengan pelanggan,” tutur Charles Njendu, Senior Engagement Manager, Strategy & Transformation, Global Business Services, IBM Singapore. “Sekitar 90 persen dari informasi real-time yang tercipta saat ini adalah data tidak terstruktur. Para CMO yang dapat memanfaatkan sumber wawasan yang baru ini akan memiliki posisi yang baik untuk meningkatkan pendapatan, merancang ulang hubungan pelanggan mereka, dan membangun nilai-nilai merk mereka.”
 
Tidak Siap Menghadapi Kerumitan

Survei IBM ini menemukan bahwa meskipun 76 persen CMO ASEAN (Global: 79 persen) memperkirakan perusahaan mereka akan menghadapi kerumitan yang tinggi atau sangat tinggi dalam kurun waktu tiga hingga lima tahun mendatang, jika dibandingkan dengan saat ini. Hanya 40 persen (Global: 48 persen) yang merasa siap untuk menghadapi kerumitan baru ini. Dengan demikian terdapat kesenjangan sebesar 36 persen (Global: 31 persen).
 
Pada dasarnya, survei ini menggaris-bawahi empat tantangan utama yang dihadapi CMO di mana saja: ledakan data (ASEAN: 56 persen, Global: 71 persen), media sosial (ASEAN: 64 persen, Global: 68 persen), pilihan saluran dan perangkat (ASEAN: 48 persen, Global: 65 persen), serta pergeseran demografi (ASEAN: 52 persen, Global: 63 persen). Semua ini merupakan faktor penentu yang bersifat universal  dan pervasif bagi bagian pemasaran dalam kurun waktu tiga hingga lima tahun.

Untuk menghadapi tantangan pertama – ledakan data -- CMO ASEAN cenderung menerapkan sarana dan teknologi selama tiga hingga lima tahun mendatang, termasuk penggunaan sarana media sosial (ASEAN: 93 persen, Global: 82 persen), analitik pelanggan (ASEAN: 89 persen, Global: 81 persen), dan pengelolaan hubungan pelanggan (ASEAN: 85 persen, Global: 81 persen).

Meskipun terdapat desakan untuk segera melakukan perubahan, para CMO mengatakan biaya (ASEAN: 63 persen, Global: 72 persen), ketidak-pastian ROI (ASEAN: 61 persen, Global: 61 persen), dan masalah pengimplementasian sarana (ASEAN: 36 persen, Global: 47 persen) merupakan kendala yang menghalangi mereka mengadopsi sarana dan teknologi baru.
 
Untuk mengatasi masalah ketidak-siapan ini, para CMO berfokus pada tiga bidang perbaikan – menghantarkan manfaat untuk memberdayakan pelanggan, memupuk hubungan jangka panjang, serta memanfaatkan hasil ukuran dan manfaat.
 
Menghantarkan Manfaat untuk Memberdayakan Pelanggan

Salah satu alasan mengapa sebagian besar perusahaan sulit mendapatkan wawasan pelanggan adalah karena mereka masih berfokus untuk memahami pasar, bukan masing-masing individu. Meskipun para CMO menyadari bahwa hubungan yang erat dengan pelanggan merupakan prioritas, dan menyadari dampak dari data real-time untuk melengkapi metode pemasaran saluran tradisional dan pengumpulan umpan balik pasar, sebagian besar dari mereka merasa masih terbelenggu oleh pendekatan-pendekatan abad ke-20.  

Sebagian besar CMO yang disurvei masih berfokus pada sumber-sumber informasi tradisional seperti riset pemasaran (ASEAN: 84 persen, Global: 82 persen), tolak ukur kompetitif (ASEAN: 83 persen, Global: 80 persen), dan analisa kampanye penjualan (ASEAN: 61 persen, Global: 68 persen) untuk mendukung pengambilan keputusan strategis.
 
Meskipun sumber-sumber informasi tradisional penting, sebagian besar memiliki satu kelemahan utama – sumber-sumber ini hanya menggambarkan pelanggan secara agregat, sehingga wawasan tentang keinginan dan kebutuhan masing-masing pelanggan sangat terbatas.

Hanya sedikit CMO yang mengeksploitasikan kekuatan yang ditawarkan jaringan digital. Meskipun sekitar dua per tiga dari CMO ini (ASEAN: 70 persen, Global: 74 persen) menggunakan analitik pelanggan untuk menggali data, hanya 29 persen dari CMO ASEAN (Global: 26 persen) yang sudah melacak blog, 41 persen (Global: 42 persen) sudah melacak ulasan pihak ketiga, dan 46 persen (Global: 48 persen) sudah melacak ulasan pelanggan untuk membantu menetapkan strategi pemasaran. Alasan utama mereka adalah sarana, proses dan ukuran yang mereka gunakan tidak dirancang untuk menangkap dan mengevaluasi data tidak terstruktur yang dihasilkan platform-platform sosial.
 
Charles Njendu membandingkan pemasar yang meremehkan dampak media sosial dengan mereka yang belum menyadari fungsi Internet sebagai platform yang dahsyat untuk perniagaan. Seperti kemunculan e-business lebih dari satu dekade yang lalu, pengadopsian media sosial secara luas oleh pelanggan dari semua kelompok demografi merupakan peluang bagi pemasar untuk untuk meningkatkan pendapatan, nilai merk dan membangun kembali hubungan antara perusahaan dengan pembeli. Pemasar yang berhasil menuai wawasan dari media sosial akan lebih siap menghadapi pergeseran pasar dan teknologi di waktu mendatang.


Memupuk Hubungan Jangka Panjang

Para CMO yang proaktif membangun hubungan dengan pelanggan pasca penjualan; dan mereka mempererat hubungan ini dengan menciptakan sebuah karakter korporat yang dimanifestasikan dalam semua tindakan dan ucapan karyawan.
 
Dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di tingkat global (Global: 67 persen), 83 persen CMO ASEAN menganggap peningkatan advokasi dan kesetiaan pelanggan sebagai prioritas utama untuk berinvestasi dalam teknologi digital.
 
Meskipun disebut sebagai prioritas, sebagian besar CMOs masih berfokus pada transaksi, bukan pada data yang dibutuhkan untuk membangun hubungan yang langgeng dengan pelanggan. Sekitar 70 persen CMO ASEAN (Global: 61 persen) hanya menggunakan data untuk mensegmentasikan pelanggan dan menjual; bukan untuk meningkatkan kesadaran, menstimulasikan minat, dan membangun kesetiaan dan advokasi.
 
Menuai Manfaat, Mengukur Hasil

Secara tradisional, sebagian besar CMO tidak diharuskan menyediakan bukti keuangan nyata atas ROI mereka. Namun demikian, dengan perekonomian yang tidak pasti dan tekanan untuk meningkatkan keuntungan, perusahaan tidak bisa lagi memberikan keleluasaan anggaran untuk inisiatif pemasaran mereka. Para CMO menyadari bahwa kini mereka harus mengkuantifikasikan manfaat yang mereka berikan kepada perusahaan, termasuk investasi mereka dalam iklan, teknologi atau kegiatan lainnya.

 
Bahkan, 59 persen CMO ASEAN (Global: 63 persen) percaya bahwa ROI dari pengeluaran pemasaran akan menjadi ukuran terpenting untuk menilai keberhasilan mereka pada tahun 2015. Meskipun tidak semua (ASEAN: 54 persen) merasa siap untuk mempertanggung-jawabkan ROI pemasaran, CMO ASEAN (54 persen) tampaknya lebih siap dari pada rekan-rekan mereka di tingkat global (44 persen). Ukuran penting lainnya untuk menilai kesuksesan pemasaran adalah pengalaman pelanggan yang positif (ASEAN: 56 persen, Global: 58 persen), kemampuan untuk menarik dan mengalihkan pelanggan (ASEAN: 54 persen, Global: 48 persen), dan penjualan secara keseluruhan (ASEAN: 51 persen, Global: 45 persen).
 
Para CMO mengatakan bahwa mereka memiliki pengaruh yang kuat atas kegiatan promosi seperti iklan (ASEAN: 85 persen, Global: 84 persen), komunikasi eksternal (ASEAN: 87 persen, Global: 82 persen) dan inisiatif media sosial (ASEAN: 70 persen, Global: 73 persen).

Tentang Global CMO Study

2011 IBM Global Chief Marketing Officer Study adalah survei IBM yang pertama terhadap CMO — dan yang ke-15 dalam rangkaian IBM C-suite Studies yang dikembangkan IBM Institute for Business Value. Antara bulan Pebruari dan Juni 2011, IBM melakukan wawancara langsung dengan 1.734 CMO di 19 industri dan 64 negara. Tujuannya adalah untuk lebih memahami sasaran mereka dan tantangan yang mereka hadapi. Para responden datang dari berbagai jenis perusahaan, mulai dari 48 dari 100 merk terbaik menurut peringkat Interbrand 2010 hingga perusahaan-perusahaan dengan profil lokal.
 
Untuk mengakses seluruh hasil 2011 IBM Global CMO Study, kunjungi http://ibm.com/cmostudy.