Indonesia
dan Swiss akan membangun kerja sama lebih intensif untuk pengembangan
pendidikan vokasi industri. Komitmen ini bakal dituangkan dalam bentuk
nota kesepahaman tentang penerapan Dual Vocational Education and Training (D-VET) system atau
model pendidikan kejuruan yang memadukan antara teori dengan praktik
lapangan sehingga lulusannya siap ditempatkan di dunia kerja.
“Kita akan belajar dari Swiss untuk mengkombinasikan training dengan edukasi, sehingga menjadi dual system,”
kata Dirjen Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional
(KPAII) Harjanto usai mendampingi Menteri Perindustrian RI Airlangga
Hartarto bertemu dengan Menteri Ekonomi, Pendidikan dan Riset Swiss Johann N. Schneider-Ammann beserta delegasinya di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Jumat (14/7).
Menurut Harjanto, Swiss merupakan negara yang cukup lama menerapkan D-VET system
dan telah membuktikan sebagai negara dengan tingkat pengangguran
pekerja muda yang rendah dan mencapai produktivitas yang tinggi. Ini
dibuktikan berdasarkan The Global Competitiveness Index 2016-2017
Rankings (World Economic Forum), Swiss mampu menempati posisi puncak
selama beberapa tahun terakhir, sedangkan Indonesia menduduki peringkat
ke-41 dari 138 negara.
Tahun ini, Kemenperin gencar membangun pendidikan vokasi yang memiliki konsep link and match
antara pelaku industri dengan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Pada
peluncuran tahap perdana, Kemenperin melibatkan sebanyak 50 perusahaan
dan 234 SMK di Jawa Timur untuk menandatangani perjanjian kerja sama
dalam upaya menjalankan program pendidikan vokasi industri.
Pada
peluncuran kedua, Kemenperin mampu menggandeng sebanyak 117 perusahaan
dan 389 SMK untuk wilayah Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta. “Akhir bulan
ini, kami akan meluncurkan kembali program tersebut untuk wilayah DKI
Jakarta dan Jawa Barat. Secara bertahap, juga nanti ke wilayah Banten,
Sumatera, dan beberapa wilayah lainnya di Indonesia,” sebut Harjanto.
Pada
periode 2017-2019, Kemenperin merancang sejumlah kegiatan untuk
menyiapkan tenaga kerja industri tersertifikasi lebih dari satu juta
orang. Selain melalui pembinaan dan pengembangan SMK yang link and match
dengan industri, juga dilaksanakan Diklat 3in1
(pelatihan-sertifikasi-penempatan kerja), pemagangan industri, serta
sertifikasi kompetensi. Implementasi program-program ini dikolaborasikan
dengan para pemangku kepentingan seperti Kadin, Kemendikbud,
Kemenristekdikti, dan Kemenaker.
Selain
berdiskusi mengenai pendidikan vokasi industri, pertemuan kedua belah
pihak juga membahas perkembangan perundingan Indonesia-European Free
Trade Association - Comprehensive Economic Partnership Agreement
(IE-CEPA). “Hingga saat ini sudah mencapai perundingan ke-13, yang
diharapkan agreement bisa dicapai sebelum perundingan ke-17,” ungkap Harjanto.
Dalam isu trade in goods di IE-CEPA, Menperin menyampaikan, Indonesia meminta pengecualian pengenaan price compensation measures (cukai tambahan) yang cukup tinggi untuk produk-produk makanan. Isu lainnya, Indonesia akan memberikan regulasi yang lebih fleksibel terkait ketentuan lisensi wajib untuk mengakomodir keinginan EFTA.
Sementara itu, dalam isu cooperation and capacity building, Indonesia menginginkan agar kerja sama inidapat memberikan manfaat bagi kedua belah pihak. Menperin Airlangga Hartarto menyampaikan, kedua pihak perlu mencari common interest utamanya yang terkait dengan kerja sama yang menjadi faktor pendorong. “Misalnya di dalam mengembangkan kemampuan ekspor, value chain di bidang manufaktur, dan pendidikan vokasi,” lanjut Airlangga.
Terkait pendidikan vokasi industri, Menperin menegaskan, pihaknya melalui Pusdiklat Industri dan State Secretariate of Economic Affairs of Switzerland (SECO) sepakat melakukan
pengembangan pendidikan vokasi industri di Indonesia, termasuk rencana
pembentukan 8 politeknik atau akademi komunitas industri baru hingga
tahun 2019. “Kami telah mempersiapkan concept note dan Project Document untuk diajukan kepada SECO, sebagai syarat awal kerja sama tersebut,” tuturnya.
Sebelumnya,
Airlangga telah mengajak sejumlah pimpinan perusahaan asal Swiss untuk
meningkatkan investasi di Indonesia sekaligus bermitra dengan para
pengusaha dalam negeri. Hingga saat ini, industri Swiss yang telah ada
di Indonesia antara lain sektor farmasi dan kosmetika, olahan susu,
makanan dan minuman, serta permesinan.
Beberapa perusahaan Swiss yang berminat ekspansi, di antaranya PT. Nestle Indonesia, PT. SGS Indonesia, PT.
Endress+ Hauser Indonesia, PT. Givaudan, PT. Sandmaster Asia Indonesia,
PT. Roche Indonesia, PT. Novartis Indonesia, dan PT. Syngenta
Indonesia. Hingga saat ini, sebanyak 150 perusahaan Swiss telah
beroperasi di Indonesia dengan menyerap tenaga kerja mencapai 60.000
orang.
Kemenperin
mencatat, dalam empat tahun terakhir, investasi Swiss di Indonesia
telah mencapai USD 4,5 miliar. Pada tahun 2015, nilai perdagangan
Indonesia-Swiss sebesar USD 1,7 miliar atau meningkat tajam sebanyak 124
persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sedangkan, kinerja
ekspor Indonesia ke Swiss sebesar USD 1,07 miliar dan impor Indonesia
dari Swiss sekitar USD 0,63 miliar.