Kementerian
Perindustrian telah memetakan kekuatan yang dimiliki Indonesia dalam
upaya memacu produktivitas industri nasional di masa depan, yang
berdasarkan laporan dari perusahaan konsultan AT Kearney. Hal ini
merupakan bagian langkah untuk memasuki era ekonomi digital dan Industry
4.0.
“Ada delapan faktor yang memengaruhi kesiapan negara dalam future of production, yaitu teknologi dan inovasi, human capital, perdagangan dan investasi global, faktor pemerintah, sumberdaya alam berkelanjutan, daya beli, complexity, serta ekonomi skala,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto saat ditemui di Jakarta, Jumat (6/10).
Menperin menjelaskan, pada teknologi dan inovasi, Indonesia memiliki kekuatan dari penetrasi internet dan ponsel. Jumlah
pengguna internet aktif di dalam negeri diperkirakan mencapai 132,7
juta orang atau 51,5 persen dari populasi penduduk. Sedangkan, jumlah
smartphone yang beredar lebih dari 130 juta unit dan tingkat
penjualannya minimal 60 juta unit per tahun.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia mendorong industri nasional agar memanfaatkan teknologi terkini dan platform digital. “Potensi
yang akan dikembangkan, antara lain universitas yang berafiliasi
sebagai inkubator, industrimanufaktur menggunakan teknologi tinggi dan
menengah, serta peningkatan intensitas riset dan jumlah peneliti,”
tuturnya.
Terkait
sumber daya manusia (SDM), Indonesia memiliki kekuatan dari banyaknya
jumlah perguruan tinggi. Hal ini membuat pemerintah fokus memacu
kompetensi tenaga kerja lokal agar bisa memenuhi kebutuhan industri.
Guna mengejar sasaran ini, Kemenperin tengah meluncurkan program
pendidikan vokasi industri di beberapa wilayah Indonesia.
Dalam upaya tersebut, Kemenperin menjalin kerja sama dengan Institute of Technical Education (ITE) di Singapura dan Universitas Tsinghua di Tiongkok
untuk pelatihan tenaga pendidik dan pengembangan inkubator sebagai
pusat inovasi. “Seiring langkah ini, kami memfasilitasi pembangunan
politeknik dan akademi komunitas di beberapa kawasan industri,” lanjut
Airlangga.
Pada faktor perdagangan
dan investasi global, kekuatan Indonesia di antaranya berada di nilai
tarif pajak yang diterapkan, investasi melalui merger atau akuisisi (greenfield investments),
dan pemasukan dari penanaman modal asing. “Di ASEAN, Indonesia menjadi
salah satu negara utama yang dipertimbangkan untuk tujuan investasi.
Jadi, para investor saat ini mencari lokasi yang memberikan kemudahan
dalam berbisnis,” jelas Airlangga.
Dari
faktor pemerintah, Indonesia memiliki anggaran belanja yang cukup besar
dan kepastian sistem hukum yang dapat mendorong peningkatan kinerja
industri domestik. Misalnya, implementasi pada proyek strategis nasional
seperti pembangunan infrastruktur dan terbitnya sejumlah paket
kebijakan ekonomi.
Mengenai
sumber daya alam berkelanjutan, Menperin menyampaikan, Indonesia
memiliki beragam energi alternatif yang berpotensi untuk dikembangkan.
Dalam hal ini, Kemenperin telah mencanangkan program industri hijau berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2014 tentang Perindustrian.
Dalam regulasi tersebut,industri perlu mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumberdaya secara berkelanjutan dalam proses produksinya. Misalnya, penggunaan teknologi rendah karbon menjadi salah satu prinsip industri hijau, dengan didukung penerapan 4R (reduce, reuse, recycle, dan return) serta SDM yang kompeten sehingga akan menghasilkan efisiensi bahan baku, energi, dan air.
Untuk daya
beli, pemerintah meyakini masyarakat Indonesia masih memiliki daya beli
yang kuat. Meskipun disebutkan ada pergeseran transaksi dari offline ke online, data menunjukkan kenaikan penggunaan jasa kurir hingga 130 persen di akhir September ini.
Selain
itu, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik mencapai 12,14 persen. Artinya,
ada aktivitas ekonomi. Bahkan, pertumbuhan penerimaan pajak dari
industri juga naik sebesar 16,63 persen dibanding tahun lalu. “Salah satu program prioritas Kemenperin adalah pengembangan IKM dengan platform digital melalui e-Smart IKM untuk memperluas akses pasar dan meningkatkan pendapatan,” ungkap Airlangga.
Pada
faktor kompleksitas, Menperin menjelaskan, Indonesia termasuk negara
berkembang yang mampu menciptakan beragam produk dari sebuah sistem
ekonomi. Hal ini merupakan bagian dari hasil kegiatan penelitian dan
pengembangan yang dilakukan oleh industri. “Kompleksitas dapat
ditingkatkan melalui kolaborasi,” ujarnya.
Sedangkan, ekonomi skala, bisa dilihat dari nilai tambah yang dihasilkan oleh manufaktur domestik. Berdasarkan data United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Indonesia menduduki peringkat ke-9 di dunia untuk Manufacturing Value Added atau naik dari peringkat tahun sebelumnya di posisi ke-10. Peringkat ke-9 ini sejajar dengan Brazil dan Inggris, bahkan lebih tinggi dari Rusia, Australia, dan negara ASEAN lainnya.