Industri
mebel nasional memiliki potensi yang besar untuk tumbuh dan berkembang
karena didukung sumber bahan baku melimpah dan perajin yang terampil.
Oleh karena itu, Pemerintah memprioritaskan pengembangan sektor padat
karya berorientasi ekspor ini agar semakin produktif dan berdaya saing
melalui kebijakan-kebijakan strategis.
“Pemerintah
berupaya untuk mengurangi berbagai hambatan yang selama ini dihadapi
pelaku usaha mebel nasional dalam proses produksi, pemasaran, maupun
ekspor,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di sela
kegiatannya menghadiri Global Manufacturing and Industrialisation Summit
(GMIS) 2017 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Selasa (28/3).
Misalnya,
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dengan dokumen V-Legal yang
sudah diberlakukan wajib bagi industri furnitur. “Menurut pelaku
industri furnitur, SVLK pada dasarnya belum memberikan manfaat bagi
mereka khususnya terkait keberterimaan dokumen V-Legal di negara tujuan
ekspor,” ujar Airlangga. Saat ini, baru Uni Eropa yang sudah memiliki kerangka kerja sama Forest Law Enforcement, Governance and Trade Voluntary Partnership Agreement (FLEGT VPA), sedangkan kebijakan ini berlaku ke seluruh negara tujuan ekspor.
Dalam
upaya mengatasi hal tersebut, Airlangga menegaskan, perlunya koordinasi
dengan pemerintah Uni Eropa (G to G) untuk menghilangkan kendala teknis
yang menghambat produk Indonesia masuk ke pasar Uni Eropa. “Sehingga
produk furnitur Indonesia dapat privilege
masuk ke pasar Uni Eropa melalui Greenline dan melakukan negosiasi
dengan negara tujuan ekspor lainnya untuk meningkatkan keberterimaan
SVLK,” tuturnya.
Opsi
lainnya, yakni mengeluarkan atau mengecualikan produk furnitur dan
kerajinan kayu dari kewajiban SVLK. “Makanya, SVLK diminta untuk
disederhanakan dan bisa dikomunikasikan kepada seluruh konsumen,” imbuh
Airlangga.
Lebih lanjut, pihaknya juga mengusulkan agar
perusahaan yang sudah mendapat fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor
(KITE) tidak perlu rekomendasi Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) untuk melakukan impor kayu karena akan menghambat
jalannya proses produksi.
“Saat
ini, banyak sekali bahan baku kayu yang harus diimpor oleh pelaku
industri furnitur, seperti kayu oak dan poplar,” sebutnya. Jenis-jenis kayu tersebut tidak tersedia di dalam negeri sehingga untuk memenuhi kebutuhan, perlu dilakukan impor.
Airlangga mengungkapkan, hambatan lainnya, yaitu selama
ini impor barang contoh (sampel) furnitur masih harus melalui proses
karantina oleh Kementerian Pertanian. Padahal produk furnitur merupakan
produk olahan, di mana sebelum diimpor sudah melalui proses fumigasi di
negara asalnya sehingga bebas hama penyakit.
“Proses karantina sampel furnitur yang memakan waktu mengakibatkan tertundanya proses produksi furnitur,” jelasnya. Untuk itu, Menperin menyarankan agar sampel furnitur tidak lagi harus melalui proses karantina.
Airlangga menyampaikan, pemerintah juga telah menyiapkan fasilitas pajak seperti tax allowance bagi pelaku usaha furnitur di Indonesia agar produk furnitur Indonesia semakin bersaing.
“Industri
furnitur merupakan salah satu sektor yang dapat memanfaatkan kebijakan
pemotongan pajak penghasilan dan penundaan pembayaran pajak
penghasilan,” paparnya. Insentif ini diberikan dengan tujuan mempermudah
cash flow perusahaan dan mengurangi beban biaya tenaga kerja. “Kalau mereka minta, kami bisa memberikan rekomendasi. Sudah ada lima perusahaan yang mendapatkan," lanjutnya.
Sumber penghidupan
Sektor
ini menjadi sumber penghidupan bagi sejumlah besar rakyat Indonesia.
Pasalnya, Indonesia merupakan negara penghasil rotan terbesar di dunia.
Sebanyak 85 persen bahan baku rotan di seluruh dunia dihasilkan oleh
Indonesia, sisanya dari Filipina, Vietnam
dan negara Asia lainnya. "Daerah penghasil rotan di Indonesia berada di
Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua,” sebut Airlangga.
Sedangkan, sentra industri hilir rotan di Indonesia tersebar di beberapa kota seperti Cirebon, Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Jepara, Kudus, Semarang, Sukoharjo, dan Yogyakarta. Potensi produksi rotan Indonesia saat ini mencapai 143.120 ton per tahun.
Selanjutnya,
untuk turut memacu kinerja industri furnitur dan kerajinan, Kemenperin
telah mendorong beberapa program yaitu; (1) Bantuan pengadaan mesin dan
peralatan industri furnitur dan kerajinan; (2) Pengembangan Industri
furnitur dan kerajinan di luar Jawa; (3) Bantuan Pendanaan dalam
penyelenggaraan Pameran Furnitur dan Kerajinan di dalam dan luar negeri;
(4) Peningkatan Penggunaan furnitur dan kerajinan sebagai bagian dari
Program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN).
Menperin
pun mengimbau industri ini perlu didukung kegiatan penelitian dan
pengembangan yang lebih kuat, terutama di bidang desain, teknik
produksi, serta proses pengemasan dan penyelesaian produk.
"Bidang-bidang itulah yang menjadi ujung tombak daya saing industri
furnitur nasional yang bersifat fashionable dan lifestyle, yang masuk kategori industri kreatif, sehingga dengan inovasi dan kreativitas menjadi kunci sukses,” tuturnya.
Kementerian
Perindustrian melalui Ditjen Industri Agro telah secara berkelanjutan
melakukan pendampingan pengembangan kemampuan SDM industri furnitur di
bidang teknik desain maupun teknik produksi, baik di sentra industri
hulu maupun hilir.
Kemenperin
secara rutin dan berkelanjutan menyelenggarakan Indonesia Furniture
Design Award (IFDA) - Lomba Desain Furnitur Nasional. Dari kompetisi
tersebut, dihasilkan karya-karya desain furnitur yang memiliki ciri khas
Indonesia dan desain inovatif untuk memenuhi selera pasar dalam dan
luar negeri.
Di
sektor industri kecil dan menengah (IKM), program pengembangan IKM
furnitur pada tahun ini, di antaranya Kemenperin mendukung pendirian
Komunitas Industri Mebel dan Kerajinan Solo Raya (KIMKAS). Komunitas ini
merupakan kolaborasi IKM berorientasi ekspor untuk memenuhi kebutuhan
sekolah dan instansi pemerintahan. “Kami juga memfasilitasi pemberian mesin pengering kayu untuk kelompok usaha KIMKAS,” ujar Airlangga.
Selanjutnya, Kemenperin akanmemberikan dukungan informasi kepada IKM furniturdi Solo Raya mengenai kebijakan KITE, dukungan ekspor melalui LPEI, penerapan manajemen kendali mutu produk, serta penerapan manajemen organisasi
dan penggunaan produk furnitur dalam negeri untuk sekolah dan perguruan
tinggi di indonesia dengan Kemendikbud melalui Forum Diskusi Antar
Stakeholder Barang dari Kayu dan Furnitur.
Kegiatan yang telah dilaksanakan Kemenperin sejak tahun 2012-2016,
untuk pengembangan IKM furnitur di Indonesia, meliputi pengembangan
wirausaha baru (WUB) IKM furnitur di 15 lokasi dan pengembangan sentra
IKM furnitur di 19 lokasi di seluruh Indonesia.